Terlalu Memikirkan Kerumitan Interaksi Organisme Pengganggu Tumbuhan, Lupa Kerumitan yang Dihadapi Petani
07.07
I W. Mudita
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) di Indonesia telah berkembang melalui tiga tahapan, yaitu berturut-turut PHT Ambang Ekonomi, PHT Sekolah Lapang, dan PHT Masyarakat. Ketiga tahap perkembangan ini dibedakan berdasarkan pertimbangan yang digunakan dalam pengambilan keputusan pengendalian. Pertimbangan yang digunakan pada PHT Ambang Ekonomi adalah padat populasi ambang yang ditetapkan oleh para pakar, pada PHT Sekolah Lapang adalah hasil pemantauan ekosistem terhadap tanaman, organisme pengganggu, dan musuh alami yang dilakukan oleh anggota kelompok tani peserta sekolah lapang PHT, dan pada PHT Masyarakat adalah hasil pemantauan yang disepakati oleh sesama anggota masyarakat dalam suatu hamparan atau kawasan. Dalam perkembangan PHT ini, pertimbangan bergeser dari berdasarkan semata-mata aspek teknis menjadi juga menyentuh aspek sosial.
Ketahanan Hayati Tumbuhan dan Pengendalian Hama Terpadu: Berbeda atau Sama Saja?
07.03
I W. Mudita
Sejak konferensi tingkat tinggi di Denpasar, Bali, berkali-kali telah diselenggarakan lokakarya dan seminar mengenai ketahanan hayati. Selain di Denpasar, lokakarya dan seminar juga diselenggarakan di Kupang, Manado, dan Ambon. Pada setiap kali lokakarya dan seminar selalu saja timbul berbagai pertanyaan mengenai istilah ketahanan hayati. Di antara pertanyaan-pertanyaan tersebut, yang menarik adalah pertanyaan apakah ketahanan hayati itu sama atau berbeda dengan pengendalian hama terpadu (PHT). Untuk diketahui, PHT telah ditetapkan sebagai sistem perlindungan tanaman di Indonesia. PHT sebenarnya merupakan instrumen pengambilan keputusan tindakan pengendalian organisme pengganggu. Sejak penerapannya pada 1980-an, PHT di Indonesia telah berkembang dari PHT Ambang Ekonomi, PHT Sekolah Lapang, dan PHT Masyarakat.
Pada tahap PHT Ambang Ekonomi, pengambilan keputusan pengendalian dilakukan pada saat padat populasi organisme pengganggu mencapai apa yang disebut ambang ekonomi. Dalam hal ini ambang ekonomi merupakan padat populasi organisme pengganggu yang ditetapkan melalui penelitian yang dilakukan oleh para pakar. Pada tahan PHT Sekolah Lapang pengambilan keputusan dilakukan bersama-sama oleh anggota kelompok tani yang mempelajari interaksi antar organisme, musuh alaminya, dan tanaman melalui pemantauan ekosistem melalui sekolah lapang dengan para pakar sebagai instruktur. Pada tahap PHT Masyarakat, pengambilan keputusan tidak hanya melibatkan petani tetapi juga anggota masyarakat lainnya, termasuk konsumen, dengan fasilitator yang berasal dari masyarakat sendiri.
Merujuk pada uraian di atas maka ketahanan hayati berbeda dengan PHT dalam hal kontinuum penanganan masalah. Dengan pendekatan ketahanan hayati, penanganan masalah dilakukan sebelum, pada saat, dan setelah organisme pengganggu melintasi batas. Hal ini berbeda dengan pendekatan PHT yang memfokuskan perhatian pada penanganan masalah setelah organisme pengganggu melintasi batas. Dengan kata lain, ketahanan hayati menanganai masalah secara proaktif, sedangkan PHT menangani masalah secara reaktif. Bagi Kepala;Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten TTS, CVPD bukan merupakan masalah sepanjang masih merupakan masalah di Eban, Kabupaten TTU. Sebaliknya bagi Australia, CVPD sudah menjadi masalah meskipun belum masuk ke wilayah negara tersebut.
Bukan hanya soal kontinuum pra-batas, batas, dan pasca-batas, ketahanan hayati bukan hanya pada aspek teknis tetapi juga pada aspek sosial permasalahan yang dihadapi. Pada tahap menilai, mengelola, maupun mengendalikan risiko selalu diperhatikan keterkaitan permasalahan hayati yang dihadapi dengan berbagai faktor sosial masyarakat. PHT juga memberikan perhatian pada berbagai faktor sosial, tetapi faktor sosial ditempatkan sebagai eksternalitas daripada diinternalisasi. Dalam perkembangan PHT memang dilakukan upaya untuk semakin menginternasisasikan permasalahan sosial ini, tetapi karena PHT Komunitas berkembang setelah era otonomi daerah maka penginternalisasian yang diharapkan tersebut tidak berlangsung dengan tuntas. Hal ini terjadi karena dalam era otonomi daerah kewenangan perlindungan tanaman termasuk dalam kewenangan yang didesentralisasi. Dalam hal ini tidak semua daerah benar-benar telah memahami dan dapat menerapkan PHT Komunitas sebagaimana mestinya.
Sebagaimana telah disampaikan pada tayangan sebelumnya, ketahanan hayati mengintegrasikan berbagai sektor dalam menghadapi permasalahan organisme pengganggu. Dalam kaitan ini PHT, meskipun sudah menggunakan pendekatan terpadu, keterpaduannya terbatas pada sektor pertanian. Maka tidak mengherankan bila kemudian ketika DDT telah dilarang untuk digunakan mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan, Departemen (sekarang Kementerian) Kesehatan masih menggunakannya untuk mengendalikan nyamuk. Bahkan dalam sektor pertanian sendiri PHT masih banyak dipandang sebagai hanya urusan bidang perlindungan tanaman dan lebih khusus lagi urusan yang berkaitan dengan hama dalam arti sempit (binatang hama). Akibatnya, banyak orang masih menyebut pestisida sebagai obat hama padahal sesungguhnya adalah racun. Obat nyamuk merupakan istilah yang dipahami lebih luas daripada racun nyamuk.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan tersebut, dalam sektor pertanian ketahanan hayati dan PHT sama-sama berkaitan dengan organisme pengganggu tumbuhan. Hanya saja, organisme pengganggu tumbuhan yang dihadapi didefinisikan dengan cara yang berbeda. Meskipun demikian, tujuan akhirnya tetap sama, yaitu sama-sama untuk menghindari terjadinya permasalahan ketahanan pangan yang diakibatkan oleh kehilangan hasil yang terjasi karena serangan organisme pengganggu tumbuhan.
Pada tahap PHT Ambang Ekonomi, pengambilan keputusan pengendalian dilakukan pada saat padat populasi organisme pengganggu mencapai apa yang disebut ambang ekonomi. Dalam hal ini ambang ekonomi merupakan padat populasi organisme pengganggu yang ditetapkan melalui penelitian yang dilakukan oleh para pakar. Pada tahan PHT Sekolah Lapang pengambilan keputusan dilakukan bersama-sama oleh anggota kelompok tani yang mempelajari interaksi antar organisme, musuh alaminya, dan tanaman melalui pemantauan ekosistem melalui sekolah lapang dengan para pakar sebagai instruktur. Pada tahap PHT Masyarakat, pengambilan keputusan tidak hanya melibatkan petani tetapi juga anggota masyarakat lainnya, termasuk konsumen, dengan fasilitator yang berasal dari masyarakat sendiri.
Merujuk pada uraian di atas maka ketahanan hayati berbeda dengan PHT dalam hal kontinuum penanganan masalah. Dengan pendekatan ketahanan hayati, penanganan masalah dilakukan sebelum, pada saat, dan setelah organisme pengganggu melintasi batas. Hal ini berbeda dengan pendekatan PHT yang memfokuskan perhatian pada penanganan masalah setelah organisme pengganggu melintasi batas. Dengan kata lain, ketahanan hayati menanganai masalah secara proaktif, sedangkan PHT menangani masalah secara reaktif. Bagi Kepala;Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten TTS, CVPD bukan merupakan masalah sepanjang masih merupakan masalah di Eban, Kabupaten TTU. Sebaliknya bagi Australia, CVPD sudah menjadi masalah meskipun belum masuk ke wilayah negara tersebut.
Bukan hanya soal kontinuum pra-batas, batas, dan pasca-batas, ketahanan hayati bukan hanya pada aspek teknis tetapi juga pada aspek sosial permasalahan yang dihadapi. Pada tahap menilai, mengelola, maupun mengendalikan risiko selalu diperhatikan keterkaitan permasalahan hayati yang dihadapi dengan berbagai faktor sosial masyarakat. PHT juga memberikan perhatian pada berbagai faktor sosial, tetapi faktor sosial ditempatkan sebagai eksternalitas daripada diinternalisasi. Dalam perkembangan PHT memang dilakukan upaya untuk semakin menginternasisasikan permasalahan sosial ini, tetapi karena PHT Komunitas berkembang setelah era otonomi daerah maka penginternalisasian yang diharapkan tersebut tidak berlangsung dengan tuntas. Hal ini terjadi karena dalam era otonomi daerah kewenangan perlindungan tanaman termasuk dalam kewenangan yang didesentralisasi. Dalam hal ini tidak semua daerah benar-benar telah memahami dan dapat menerapkan PHT Komunitas sebagaimana mestinya.
Sebagaimana telah disampaikan pada tayangan sebelumnya, ketahanan hayati mengintegrasikan berbagai sektor dalam menghadapi permasalahan organisme pengganggu. Dalam kaitan ini PHT, meskipun sudah menggunakan pendekatan terpadu, keterpaduannya terbatas pada sektor pertanian. Maka tidak mengherankan bila kemudian ketika DDT telah dilarang untuk digunakan mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan, Departemen (sekarang Kementerian) Kesehatan masih menggunakannya untuk mengendalikan nyamuk. Bahkan dalam sektor pertanian sendiri PHT masih banyak dipandang sebagai hanya urusan bidang perlindungan tanaman dan lebih khusus lagi urusan yang berkaitan dengan hama dalam arti sempit (binatang hama). Akibatnya, banyak orang masih menyebut pestisida sebagai obat hama padahal sesungguhnya adalah racun. Obat nyamuk merupakan istilah yang dipahami lebih luas daripada racun nyamuk.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan tersebut, dalam sektor pertanian ketahanan hayati dan PHT sama-sama berkaitan dengan organisme pengganggu tumbuhan. Hanya saja, organisme pengganggu tumbuhan yang dihadapi didefinisikan dengan cara yang berbeda. Meskipun demikian, tujuan akhirnya tetap sama, yaitu sama-sama untuk menghindari terjadinya permasalahan ketahanan pangan yang diakibatkan oleh kehilangan hasil yang terjasi karena serangan organisme pengganggu tumbuhan.
Ketahanan Hayati: Pemahaman Baru terhadap Organisme Pengganggu
07.00
I W. Mudita
Ketahanan hayati merupakan pendekatan baru untuk mengelola permasalahan yang ditimbulkan oleh organisme pengganggu. Dalam hal ini organisme pengganggu dapat berupa hama, organisme penyebab penyakit tanaman, ikan, ternak, dan manusia, gulma dan tumbuhan asing invasif, dan organisme termodifikasi genetik. Dengan demikian, ketahanan hayati bersifat lintas sektoral, mencakup sektor pertanian, perikanan, peternakan, lingkungan hidup, dan kesehatan manusia. Pada sektor pertanian, ketahanan hayati berkaitan dengan pengelolaan permasalahan yang ditimbulkan organisme pengganggu tumbuhan yang mencakup binatang hama, penyebab penyakit, dan gulma, yang masing-masing juga mencakup spesies asing invasif. Dengan pendekatan baru ini, sektor dipadukan dengan menggunakan konsep risiko, yaitu peluang terjadinya permasalahan yang disebabkan oleh organisme pengganggu. Menggunakan konsep risiko, ketahanan hayati dengan demikian merupakan upaya terpadu untuk menilai, mengelola, dan mengkomunikasikan risiko yang disebabkan oleh organisme pengganggu.
Penilaian, pengelolaan, dan pengkomunikasian risiko dilakukan dalam kontinuum pra-batas, batas, dan pasca-batas. Pra-batas berarti ketika organisme pengganggu atau media pembawanya masih berada di luar suatu wilayah. Batas berarti ketika organisme pengganggu atau media pembawanya melintasi batas suatu wilayah. Pasca-batas berarti setelah organisme pengganggu atau media pembawanya berada di dalam suatu wilayah. Dalam hal ini wilayah dapat berupa hamparan, ekosistem tertentu, pulau, atau batas administrasi pemerintahan. Banyak pihak mengartikan ketahanan hayati berkaitan dengan organisme pengganggu pada saat melintasi batas sehingga mengidentikkannya dengan karantina. Hal ini sebenarnya kurang tepat karena ketahanan hayati juga berkaitan dengan permasalahan ketika organisme pengganggu masih berada di luar batas maupun setelah masuk ke dalam suatu wilayah. Organisme pengganggu dalam konteks ketahanan hayati berbeda dengan organisme pengganggu dalam konteks pengendalian hama terpadu (PHT). Dalam konteks PHT, organisme pengganggu dibatasi pada yang telah berada dalam suatu ekosistem sebagaimana dinilai melalui pemantauan ekosistem.
Pengertian ketahanan hayati memang masih dipahami berbeda-beda. Pemahaman sebagai yang telah diuraikan di atas adalah yang berlaku di negara-negara Selandia Baru, Australia, dan beberapa negara lainnya. Di Amerika Serikat, ketahanan hayati lebih banyak dikaitkan dengan keamanan hayati (biosafety) dan terorisme. Di sana ketahanan hayati lebih banyak dibahas sebagai permasalahan yang berkaitan dengan ancaman terorisme terhadap kepentingan ketahanan nasional. Hal ini memang tidak salah, karena pada pada tataran manapun ketahanan hayati didefinisikan pada akhirnya akan sampai juga pada masalah ancaman terhadap ketahanan nasional. Kerusakan tanaman yang disebabkan oleh organisme pengganggu akan mengganggu ketahanan pangan dan gangguan ketahanan pangan pada gilirannya akan menjadi ancaman terhadap ketahanan nasional. Tetapi terorisme dapat memperpendek rangkaian ancaman ini dengan secara sengaja menggunakan senjata hayati untuk secara langsung mengancam kepentingan ketahanan nasional suatu negara.
Juga penting untuk dipahami bahwa dalam melakukan penilaian, pengelolaan, dan pengkomunikasian risiko ketahanan hayati diperlukan bukan hanya pendekatan teknis tetapi juga pendekatan sosial. Dalam konteks ketahanan hayati, pendekatan teknis memang perlu, tetapi belum cukup. Agar pendekatan teknis dapat dilaksanakan maka diperlukan dukungan dari masyarakat. Tanpa dukungan masyarakat maka penilaian, pengelolaan, dan pengkomunikasian risiko ketahanan hayati menjadi sangat mahal. Memang benar bahwa masyarakat mungkin tidak dapat menilai risiko yang ditimbulkan oleh organisme pengganggu baru, tetapi dengan pengkomunikasian yang memadai maka masyarakat dapat diajak bersama-sama bukan hanya dalam melakukan penilaian, tetapi juga dalam melakukan pengelolaan dan pengkomunikasian dengan sesama anggota masyarakat.
Istilah ketahanan hayati merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris biosecurity atau biological security. Istilah ini diajukan penggunaannya pada 2006 dalam suatu lokakarya persiapan konferensi tingkat tinggi ketahanan hayati yang diselenggarakan di Denpasar pada awal 2007. Meskipun demikian, pada saat pelaksanaan konferensi tingkat tinggi, banyak delegasi yang masih menggunakan istilah biosekuriti atau biosekuritas. Bahkan ada delegasi yang secara berkelakar menggunakan istilah biosatpam sebab di kalangan masyarakat Indonesia istilah security identik dengan satuan pengamanan instansi pemerintahan maupun swasta. Istilah ketahanan hayati diajukan dengan beranalogi pada pengalihbahasaan istilah food security menjadi ketahanan pangan.
Penilaian, pengelolaan, dan pengkomunikasian risiko dilakukan dalam kontinuum pra-batas, batas, dan pasca-batas. Pra-batas berarti ketika organisme pengganggu atau media pembawanya masih berada di luar suatu wilayah. Batas berarti ketika organisme pengganggu atau media pembawanya melintasi batas suatu wilayah. Pasca-batas berarti setelah organisme pengganggu atau media pembawanya berada di dalam suatu wilayah. Dalam hal ini wilayah dapat berupa hamparan, ekosistem tertentu, pulau, atau batas administrasi pemerintahan. Banyak pihak mengartikan ketahanan hayati berkaitan dengan organisme pengganggu pada saat melintasi batas sehingga mengidentikkannya dengan karantina. Hal ini sebenarnya kurang tepat karena ketahanan hayati juga berkaitan dengan permasalahan ketika organisme pengganggu masih berada di luar batas maupun setelah masuk ke dalam suatu wilayah. Organisme pengganggu dalam konteks ketahanan hayati berbeda dengan organisme pengganggu dalam konteks pengendalian hama terpadu (PHT). Dalam konteks PHT, organisme pengganggu dibatasi pada yang telah berada dalam suatu ekosistem sebagaimana dinilai melalui pemantauan ekosistem.
Pengertian ketahanan hayati memang masih dipahami berbeda-beda. Pemahaman sebagai yang telah diuraikan di atas adalah yang berlaku di negara-negara Selandia Baru, Australia, dan beberapa negara lainnya. Di Amerika Serikat, ketahanan hayati lebih banyak dikaitkan dengan keamanan hayati (biosafety) dan terorisme. Di sana ketahanan hayati lebih banyak dibahas sebagai permasalahan yang berkaitan dengan ancaman terorisme terhadap kepentingan ketahanan nasional. Hal ini memang tidak salah, karena pada pada tataran manapun ketahanan hayati didefinisikan pada akhirnya akan sampai juga pada masalah ancaman terhadap ketahanan nasional. Kerusakan tanaman yang disebabkan oleh organisme pengganggu akan mengganggu ketahanan pangan dan gangguan ketahanan pangan pada gilirannya akan menjadi ancaman terhadap ketahanan nasional. Tetapi terorisme dapat memperpendek rangkaian ancaman ini dengan secara sengaja menggunakan senjata hayati untuk secara langsung mengancam kepentingan ketahanan nasional suatu negara.
Juga penting untuk dipahami bahwa dalam melakukan penilaian, pengelolaan, dan pengkomunikasian risiko ketahanan hayati diperlukan bukan hanya pendekatan teknis tetapi juga pendekatan sosial. Dalam konteks ketahanan hayati, pendekatan teknis memang perlu, tetapi belum cukup. Agar pendekatan teknis dapat dilaksanakan maka diperlukan dukungan dari masyarakat. Tanpa dukungan masyarakat maka penilaian, pengelolaan, dan pengkomunikasian risiko ketahanan hayati menjadi sangat mahal. Memang benar bahwa masyarakat mungkin tidak dapat menilai risiko yang ditimbulkan oleh organisme pengganggu baru, tetapi dengan pengkomunikasian yang memadai maka masyarakat dapat diajak bersama-sama bukan hanya dalam melakukan penilaian, tetapi juga dalam melakukan pengelolaan dan pengkomunikasian dengan sesama anggota masyarakat.
Istilah ketahanan hayati merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris biosecurity atau biological security. Istilah ini diajukan penggunaannya pada 2006 dalam suatu lokakarya persiapan konferensi tingkat tinggi ketahanan hayati yang diselenggarakan di Denpasar pada awal 2007. Meskipun demikian, pada saat pelaksanaan konferensi tingkat tinggi, banyak delegasi yang masih menggunakan istilah biosekuriti atau biosekuritas. Bahkan ada delegasi yang secara berkelakar menggunakan istilah biosatpam sebab di kalangan masyarakat Indonesia istilah security identik dengan satuan pengamanan instansi pemerintahan maupun swasta. Istilah ketahanan hayati diajukan dengan beranalogi pada pengalihbahasaan istilah food security menjadi ketahanan pangan.